Kucingku
Aku terbangun. Tidur malamku kali ini kurang
berkualitas, pasalnya aku baru dapat memejamkan mata sekitar jam empat menjelang
subuh. Semalaman waktuku habis aku gunakan untuk duduk diam di depan laptop,
mendengarkan musik, menonton film, dan mengetik beratus-ratus kata yang tidak
menemukan garis akhirnya. Aku dibuat pusing. Sudah banyak batang rokok yang
mengorbankan diri untuk dihisap dengan buas oleh mulutku. Bahkan mereka
kehabisan bala tentaranya untuk dikorbankan—tidak ada lagi yang dapat menjadi
tumbalku.
Aku menarik nafas panjang, merenggangkan persendian
tulangku yang terasa kaku. Kreek. Bunyinya terdengar nyaring di
telinga. Nafasku berhembus. Aku membalikkan tubuhku, menoleh ke arah kanan,
mengambil gawai yang tepat berada di samping kepala dengan kabel charger yang
menempel. Pukul sebelas lewat sepuluh—waktu yang
terlihat di layar gawaiku—hari menjelang siang.
Matahari hampir naik ke atas ubun-ubun. Suara kokok
ayam tak lagi berbunyi, sudah lewat beberapa jam sebelumnya. Aku menatap ke
langit kamar. Setengah hariku terbuang begitu saja, sia-sia. Aku
mengeluh. Aku berjanji agar besok dapat bangun lebih pagi, namun aku tahu, itu
hanyalah janji kosong yang selalu aku ucapkan setiap terbangun dari tidur. Esok
harinya, aku akan bangun kesiangan lagi seperti hari ini.
Aku memainkan jari pada gawaiku. Terdapat tiga
panggilan telepon tak terjawab, dan dua belas pesan masuk yang belum
terbaca. Itu dari pacarku. Pasti ia sedang berusaha membangunkanku,
tetapi usahanya gagal. Aku mengetik pesan untuk kukirimkan padanya.
“Saya baru terbangun.”
Selang satu menit kemudian. Pesan balasan kuterima.
Isinya sama seperti hari-hari belakang—kalimat omelan yang bosan untukku baca.
Aku biarkan saja pesan darinya, menganggur, tidak kubalas. Mataku kembali
terpejam. Aku terbenam ke dalam hamparan dunia kasur yang seolah tidak mau
kutinggalkan. Pikiranku terbang melayang, bebas, mencari pintu-pintu mimpi yang
akan kujelajahi.
Meow... meow...
Erangan kucing peliharaanku terdengar, seketika
menarik jiwaku kembali pada kenyataan. Mataku terbuka. Aku mendapati dirinya
telah meringkuk di samping tubuhku bersama bulu halusnya yang berwarna putih
bersih layaknya tumpukan salju. Ia menggemaskan. Telinganya berdiri ke atas.
Matanya kuning menyala menatapku. Ia suka bertingkah manja, mengusap-usapkan
kepalanya pada bagian tubuhku. Aku menggerakkan tangan, membelainya.
Meow...
Ia menggeram, menjilati tanganku dengan lidahnya yang
kasar. Bangun, Tuan, bangun!
“Iya, aku bangun,” ucapku padanya.
Ia beranjak turun dari kasurku.
“Mau ke mana?” tanyaku.
Kepalanya bergerak menunjuk ke arah luar pintu kamar
yang terbuka.
“Ohh, kau mau bermain?” tanyaku lagi.
Ia mengangguk pelan. Iya, aku mau main.
Kaki-kakinya perlahan pergi meninggalkanku. “Tunggu!”
teriakku, “kau mau bermain dengan siapa?” Aku kembali bertanya, untuk kali yang
ketiga.
Matanya menatapku. Tajam. Kepalanya bergerak menunjuk
seekor kucing betina yang sudah menunggu di depan pintu kamar. Bulunya tampak
kuning keemasan, dengan bintik-bintik hitam.
Meow... meow...
Aku menganggukkan kepala. Tak mau berdebat.
Kupersilakan ia pergi bersama Sang Kekasihnya. Ia melanjutkan langkah kakinya
keluar dari kamar, melewati daun pintu. Tubuh kecilnya perlahan hilang dari
pandanganku.
Aku kembali membenamkan kepala di atas bantal. Mataku
menatap langit-langit kamar yang di penuhi sinar matahari siang. Sinarnya
berhasil masuk, menerobos celah-celah lubang udara untuk menjamah tubuhku. Aku
tak punya kesempatan untuk tertidur. Kuputuskan untuk menarik sisa nyawaku yang
masih terbang bebas di udara. Satu, dua hingga sembilan. Terkumpul lengkap
menjadi satu. Aku terbangun.
*****
Komentar
Posting Komentar