Alasan Tuhan Menciptakanmu
Aku terbangun di hari kedua. Pukul lima pagi. Aku berhasil menepati janjiku kemarin—bangun lebih awal pagi ini. Ucapan terima kasih aku serukan kepada suara notifikasi pesan masuk dari gawaiku yang berbunyi tiga kali—oleh sebabnya aku terbangun. Suara itu dalam sekejap menarikku kasar dari alam mimpi yang sedang kunikmati bersama dua wanita cantik berwajah rata.
Aku membuka mata. Berat. Kelopak mataku serasa menyatu. Aku memandang pesan masuk yang muncul
di layar gawai.
“Hari ini kau tidak
perlu berangkat kerja.” Pesan dari salah satu rekan kerjaku.
Aku mengetik pesan balasan, mengirimkan. “Kenapa?” Aku
menanyakan seolah peduli. Nyatanya tidak. Aku tidak peduli. Aku justru senang
tidak masuk kerja. Lagi pula uang akan tetap masuk ke rekeningku.
Satu menit kemudian ia membalas, “Kantor tutup hari ini.”
Tubuhku bangkit. Terduduk di atas kasur.
Sialan! Kantor tutup hari ini?
Itu tandanya aku tidak jadi mendapat uang.
Aku melempar gawaiku
hingga tersungkur ke arah pintu. Ia mengerang. Suaranya terdengar
menyakitkan. Tubuhnya bergetar hebat. Lantas apa aku peduli? Tidak!
Aku memilih merebahkan tubuh, berencana melanjutkan
kencan butaku dengan dua wanita cantik yang kutemui di alam mimpi. Pelan-pelan
mataku menutup, menyatu, menarik kesadaranku menghilang dari kenyataan.
Dua jam berlalu.
Ting...
Suara gawaiku kembali berbunyi, menarik paksa
diriku yang sedang asyik bercumbu dengan salah satu wanita cantik berwajah rata
itu. Amarah di dadaku tak mampu terbendung. Abu vulkanik dan cairan lava telah
keluar lebih dulu dari lubang kepalaku.
Siapa lagi yang menggangguku?!
Aku beranjak bangun dari kasur. Menuju gawaiku yang bernyanyi dengan sombong di dasar lantai. Aku mengambilnya, membaca tulisan yang tertera pada layar.
Teknisi (Servis) AC.
Buru-buru aku menjawab
panggilannya. Amarahku hilang seketika.
“Selamat pagi,” sapaku.
“Selamat pagi, Pak. Kami menginformasikan teknisi
kami sedang dalam perjalanan menuju rumah Bapak,” ujar seorang perempuan dari balik sambungan
telepon.
“Baik, terima kasih.” Aku mematikan panggilannya
setelah ia mengucapkan terima kasih kembali.
Aku lupa jika kemarin sudah membuat janji untuk memperbaiki AC di kamarku yang terus mengeluarkan air—tampaknya rusak, kotor, atau apalah, aku tak mengerti perihal AC. Rasa mengantukku hilang dalam sekejap. Kencan butaku gagal total. Aku berpindah ke kamar mandi untuk lekas membasuh tubuh, mendinginkan uap panas yang bergemuruh di kepalaku. Tiga puluh menit kemudian. Dua teknisi AC tiba di rumahku mengendarai mobil Van dengan membawa satu kotak peralatan, dan satu tangga lipat.
“Permisi, Pak,” sapa mereka padaku yang telah
menunggu di depan rumah.
“Silakan masuk,” balasku.
Mereka masuk ke dalam rumah, mulai bekerja memperbaiki AC dengan luwes
dan cekatan. Pekerjaan mereka selesai kurang dari satu jam. Aku membayar,
melebihkan sedikit uang untuk mereka gunakan membeli dua bungkus rokok atau dua
porsi makan siang.
“Terima kasih, Pak,” ucap mereka sembari berjalan
ke arah mobil.
“Terima kasih juga atas bantuannya.”
“Sama-sama, Pak.
Mereka masuk ke dalam mobil. Menyalakannya. Bergerak pergi dari halaman rumahku yang dihiasi dua pohon mangga besar yang sedang berbuah. Tetapi aku tidak ingin membahas soal mangga di sini. Tidak penting.
Aku masuk ke dalam rumahku. Duduk di depan meja makan sambil menyantap hidangan nasi uduk yang aku pesan dari aplikasi makanan online. Gawaiku kembali bernyanyi, seakan tak pernah lelah ‘mulutnya’ bersenandung. ‘Wajahnya’ menampilkan sebuah nama—nama pacarku. Aku menjawab panggilan darinya.
“Selamat siang, Sayang,” sapaku ramah.
“Siang juga, Mas. Kamu sedang apa?” tanyanya.
“Sedang duduk, berpikir.”
“Berpikir tentang apa?”
“Tentang alasan mengapa Tuhan menciptakanmu.”
“Kamu, 'kan, sudah tahu jawabannya.”
“Apa?”
“Perlu aku yang menjawab?”
“Iya.”
“Alasannya... karna untuk bertemu denganmu.”
“Bertemu saja?”
“Bertemu sekaligus hidup bersamamu.”
Aku tertawa. Ia pun tertawa. Kami tertawa.
Sedangkan kalian meratapi kesedihan mendengar suara tawa kami.
*****
Komentar
Posting Komentar